“A father is a fellow who has replaced the
currency in his wallet with the snapshots of his kids.”
Di dunia ini, tidak ada yang sama dengan
yang manusia harapkan. Atau perkirakan. Manusia bukanlah makhluk serba tahu
yang mampu memprediksikan hal-hal yang dianggapnya benar.
Anggapan semacam itu wajar terlintas dalam
pikiran anak remaja seumuran saya atau kamu yang saat ini sedang berada di
ambang gejolak emosinya. Pikiran kita selalu terasa yang paling benar, dan
tentu saja, milik orangtua lah yang tersalah. Terkadang banyak remaja yang
berpikiran, "Mengapa orangtuaku tidak bisa mengerti keinginanku?"
Atau kebalikannya. Orangtua seringkali
menghela napas setiap kali berargumen dengan anak-anaknya, saya dan kamu.
Mereka, para orang dewasa yang sedang berada di puncak keletihannya, setiap
saat berusaha untuk menarik anak-anaknya lebih dekat lagi. Lebih banyak
orangtua akan berpikiran, "Mengapa anak-anakku tak mengerti bahwa aku
tahu yang terbaik untuknya?" selagi menarik anak-anak mereka yang
berusaha kabur.
Tulisan ini, tidak dengan maksud menyulut
pro dan kontra antara kedua belah pihak di dalam keluarga. Tulisan ini, sekedar
pengingat bagi diri saya dan kamu yang saat ini hanya berperan sebagai anak.
Tidak ada niat menggurui, hanya berbagi.
Suatu sore, dengan hujan yang cukup deras,
saya berada di atas angkot, menunggu hingga sang supir memutuskan untuk
berangkat. Keadaan di dalam angkot sangat lembap, tapi masih jauh lebih baik
dari kedinginan di luar sana.
Di tengah rasa mengantuk yang luar biasa,
saya harus tetap siaga dengan penumpang baru, dengan alasan keselamatan dan
lain-lain. Tiba-tiba, naik seorang bapak-bapak paruh baya berbaju batik, tanpa
tas atau jaket.
Beliau hanya membawa sebuah kotak yang
tidak saya ketahui isinya dan ditutupi oleh koran. Sang bapak, dengan wajahnya
yang tampak letih namun antusias, menyeka air-air di atas koran yang membungkus
kotak tersebut, terlalu bersemangat hingga saya heran melihatnya.
Kotak itu tidak terlihat istimewa,
warnanya kuning, dan saat saya melihatnya, kotak itu langsung mengingatkan saya
pada kotak konsumsi yang biasa dibagikan dalam acara-acara formal.
Saya lalu menatap bapak itu lagi. Wajahnya
masih menunjukkan kecemasan dan antusias yang tinggi, sambil tangannya dengan
tekun mengeringkan koran yang membasahi kotak tersebut.
Seketika itu saya terdiam. Mungkinkan
bapak ini membawakan kotak itu untuk dimakan bersama dengan keluarganya? Atau
ada sesuatu di dalamnya yang membuat beliau begitu menghargai kotak tersebut,
hingga rela membasahi korannya?
Kebanyakan orang akan berpikir bahwa
beliau adalah pria kantoran yang terburu-buru untuk pulang dan kembali ke
kantor lagi. Tapi, dalam benak saya, yang terlintas adalah sosok ayah saya.
Mungkinkah beliau pernah melakukan hal yang sama? Membawakan sesuatu yang
sangat saya sukai dengan penuh semangat? Apa yang ayah saya harapkan saat
membawakan barang itu pada saya? Ucapan terima kasih kah? Pelukan kah? Atau
senyuman saya kah?
Lalu saya termenung lagi. Apa yang saat
itu saya berikan pada ayah saya saat beliau membawakan barang yang saya sukai?
Merebutnya kah? Kabur begitu saja? Atau malah memaki beliau karena membawakan
yang tidak saya sukai?
Menurut saya:
"A father is someone who wished to be
greeted with hugs and kisses from his children; and when he doesn't, he will
still come to his children and give them kisses and hugs."
Saya yakin, tidak ada ayah, atau orangtua,
yang tidak menginginkan kasih sayang dari anak-anak mereka, ekspektasi dari
mereka, saya dan kamu. Dan bila mereka tidak mendapatkannya, mereka akan tetap
melimpahkan kasih sayangnya pada saya dan kamu, memikirkan saya dan kamu setiap
detiknya, dan mencintai saya dan kamu setiap saatnya.
Saya percaya itu.
Mari renungkan bersama.
Seperti kata para ayah, “Untuk mereka
yang menunggu.”