Friday, April 15, 2011

Untuk Mereka yang Menunggu



“A father is a fellow who has replaced the currency in his wallet with the snapshots of his kids.”

Di dunia ini, tidak ada yang sama dengan yang manusia harapkan. Atau perkirakan. Manusia bukanlah makhluk serba tahu yang mampu memprediksikan hal-hal yang dianggapnya benar.

Anggapan semacam itu wajar terlintas dalam pikiran anak remaja seumuran saya atau kamu yang saat ini sedang berada di ambang gejolak emosinya. Pikiran kita selalu terasa yang paling benar, dan tentu saja, milik orangtua lah yang tersalah. Terkadang banyak remaja yang berpikiran, "Mengapa orangtuaku tidak bisa mengerti keinginanku?"

Atau kebalikannya. Orangtua seringkali menghela napas setiap kali berargumen dengan anak-anaknya, saya dan kamu. Mereka, para orang dewasa yang sedang berada di puncak keletihannya, setiap saat berusaha untuk menarik anak-anaknya lebih dekat lagi. Lebih banyak orangtua akan berpikiran, "Mengapa anak-anakku tak mengerti bahwa aku tahu yang terbaik untuknya?" selagi menarik anak-anak mereka yang berusaha kabur.


Tulisan ini, tidak dengan maksud menyulut pro dan kontra antara kedua belah pihak di dalam keluarga. Tulisan ini, sekedar pengingat bagi diri saya dan kamu yang saat ini hanya berperan sebagai anak. Tidak ada niat menggurui, hanya berbagi.

Suatu sore, dengan hujan yang cukup deras, saya berada di atas angkot, menunggu hingga sang supir memutuskan untuk berangkat. Keadaan di dalam angkot sangat lembap, tapi masih jauh lebih baik dari kedinginan di luar sana.

Di tengah rasa mengantuk yang luar biasa, saya harus tetap siaga dengan penumpang baru, dengan alasan keselamatan dan lain-lain. Tiba-tiba, naik seorang bapak-bapak paruh baya berbaju batik, tanpa tas atau jaket.

Beliau hanya membawa sebuah kotak yang tidak saya ketahui isinya dan ditutupi oleh koran. Sang bapak, dengan wajahnya yang tampak letih namun antusias, menyeka air-air di atas koran yang membungkus kotak tersebut, terlalu bersemangat hingga saya heran melihatnya.

Kotak itu tidak terlihat istimewa, warnanya kuning, dan saat saya melihatnya, kotak itu langsung mengingatkan saya pada kotak konsumsi yang biasa dibagikan dalam acara-acara formal.

Saya lalu menatap bapak itu lagi. Wajahnya masih menunjukkan kecemasan dan antusias yang tinggi, sambil tangannya dengan tekun mengeringkan koran yang membasahi kotak tersebut.

Seketika itu saya terdiam. Mungkinkan bapak ini membawakan kotak itu untuk dimakan bersama dengan keluarganya? Atau ada sesuatu di dalamnya yang membuat beliau begitu menghargai kotak tersebut, hingga rela membasahi korannya?

Kebanyakan orang akan berpikir bahwa beliau adalah pria kantoran yang terburu-buru untuk pulang dan kembali ke kantor lagi. Tapi, dalam benak saya, yang terlintas adalah sosok ayah saya. Mungkinkah beliau pernah melakukan hal yang sama? Membawakan sesuatu yang sangat saya sukai dengan penuh semangat? Apa yang ayah saya harapkan saat membawakan barang itu pada saya? Ucapan terima kasih kah? Pelukan kah? Atau senyuman saya kah?

Lalu saya termenung lagi. Apa yang saat itu saya berikan pada ayah saya saat beliau membawakan barang yang saya sukai? Merebutnya kah? Kabur begitu saja? Atau malah memaki beliau karena membawakan yang tidak saya sukai?

Menurut saya:
"A father is someone who wished to be greeted with hugs and kisses from his children; and when he doesn't, he will still come to his children and give them kisses and hugs."


Saya yakin, tidak ada ayah, atau orangtua, yang tidak menginginkan kasih sayang dari anak-anak mereka, ekspektasi dari mereka, saya dan kamu. Dan bila mereka tidak mendapatkannya, mereka akan tetap melimpahkan kasih sayangnya pada saya dan kamu, memikirkan saya dan kamu setiap detiknya, dan mencintai saya dan kamu setiap saatnya.
Saya percaya itu.

Mari renungkan bersama.
Seperti kata para ayah, “Untuk mereka yang menunggu.”

Saturday, April 9, 2011

Chapter One - Clame Bous

"If I fall asleep with a pen in my hand, don't remove it - I might be writing in my dreams."  ~Terri Guillemets

Saya sudah berjalan di atas jalan ini sejak beberapa tahun lalu, saat gaya bahasa yang masih seperti "itu" hingga seperti "ini", sudah saya rasakan. Sayangnya, tidak ada keberanian dan keinginan untuk menunjukkannya, setidaknya dalam bentuk formal.

Setelah memasuki zaman SMA yang baru ini, saya menyadari bahwa memiliki bakat itu tidak mudah, karena kebanyakan orang terlahir dengan bakat mereka, sementara ada beberapa orang yang merasa bahwa tanpa bakat, hal yang dikerjakan tidak akan bernyawa. Saya termasuk yang percaya akan hal tersebut, tapi saya juga yakin bahwa bakat bisa dimunculkan bila kita memiliki kemauan dan kepercayaan.

Karena itu, saya mencoba untuk *officially* mengunduh salah satu karangan yang sedang saya dalami, dan mengharapkan ada dari mereka di luar sana yang secara tidak sengaja membacanya. Karya dan Seni adalah sesuatu yang harusnya bisa dibagi. Dan itu yang saya yakini.


Dengan ini, bagi yang tertarik untuk membaca salah satu karya saya, silahkan unduh di link di bawah ini:


Err... I think I am brave enough :)


Thank you,
Dina