Saturday, September 4, 2010

A Hope in Impossibilities





"A warm candle among the cold sticks. A light among the darkness. A white among the black. A real among the blur."

One of the reason why I love taking photos of fire, candles, lamps, every kind of lights. It shows a contrast match with two objects. The real object, and the unseen, untouchable one.

Salah seorang teman yang aku kagumi pernah mengatakan sesuatu di twitternya. Meskipun dia tidak menunjukkannya langsung untukku, tapi ada yang yang bisa diambil dari perkataannya. Mungkin ini tidak benar-benar banget, but at least what she had said was something like this:

"She's a ray of hope." - Kezia Gabriella Agusta

Like the photo above. Bagiku, A HOPE terkadang terlihat dan terasa begitu kecil, hanya setitik bulatan putih di atas lembaran hitam. Aku sudah pernah menuliskan mengenai hal yang sama di twitter, but to make sure, I want to make it clear here.

Suatu hal kecil positif yang kita miliki, meskipun itu hanya berupa titip yang berukuran super mikro dikali nano berkali-kali, at least we already had a good start. It's better than a full blank, no blink. Terkadang, titik kecil itu bisa mengisi satu kertas penuh tanpa kekosongan. Itu semua tergantung lagi apa yang yang kita harapkan dan kita lakukan untuk menggapai harapan tersebut.

I know some of you were thinking that I was only mumbling again. But it's better out than in, right?

Meskipun sebuah kertas hitam polos kini berada di atas tangan kita, dan kita merasa tidak ada lagi harapan dan apa yang bisa dilihat dari kertas itu, setidaknya kita bisa menyadari bahwa ada satu titik putih, TITIK PUTIH KECIL yang berada entah di posisi mana di atas kertas hitam itu. Like once I mentioned about start to love what I hate, akan selalu ada hal menyenangkan dan indah dari hal yang kita benci itu, yang bisa memutarbalikkan perasaan kita.

Salah satu kutipan yang kuambil dari komik kesukaanku adalah ini:
"Bila ia melakukan kesalahan, aku tidak akan memarahinya. Tapi aku akan memberinya kesempatan untuk mengulangi dan memperbaikinya, hingga dirinya sendiri sadar bahwa melakukan suatu hal dengan benar itu lebih menguntungkan dari membuat kesalahan. Tapi bila dia masih juga membuat kesalahan, aku akan mengintrospeksi diriku sendiri. Mungkin ada yang salah dalam diriku, yang hasil keluarnya tidak bisa tersampaikan padanya, dan aku tidak bisa mengajarkan padanya mana yang salah atau tidak."

Kesalahan tidak muncul hanya dari sebelah pihak, tapi kedua belah pihak memiliki faktor penyebab kesalahan itu. Mungkin kutipan yang kuambil nggak sepenuhnya benar, tapi intinya:

Untuk mengubah sesuatu, bukan berarti hal tersebut memiliki sesuatu yang salah sehingga harus diperbaiki. Bisa jadi, kita memiliki sesuatu yang menahan dan menekan diri sendiri untuk membuat hal tersebut salah dan tidak benar bagi pandangan kita. Terkadang, kita butuh melihat sesuatu di luar cara pandang kita yang biasanya. Coba lihat dari sudut pandang yang berbeda, apakah akan menumbuhkan kesan lain yang bertunas cinta?

Okay, again, I'm sorry if most of you think that I was mumbling again.

Salah satu yang menurutku nggak mungkin ada di dunia ini adalah, A human really hates something. Contohnya bisa diambil dari orang yang membenci kecoak, paling dasar. Definisi membenciku adalah Seseorang yang membenci sesuatu karena tidak ada yang menguntungkan dari hal itu bagi dirinya, sehingga muncul keinginan untuk menghilangkan atau bahkan menghancurkan apa yang dia benci itu. Sementara, di dunia ini nggak ada hal yang tidak memiliki fungsi untuk kita, secara langsung atau tidak. Paling dasar dari manusia itu hanya ketidaksukaan. Well, aside from many movie factors you've watched, mereka menunjukkan kepada kita KEBENCIAN tokoh pada tokoh lain yang menimbulkan keinginan untuk membunuh (Am I right?)

But in real world, I don't think we actually have someone and something we hate so much, that we even have the desire to kill them. Kembali lagi ke hubungan foto yang di atas, Even a deepest hate (I described it as a black blank paper), will have a drop of likeness (like the light), so we actually do not have this hate feelings.

Jadi, bagaimana jika kita belajar untuk jadi orang yang mencintai semuanya? Taraf mencintai itu sendiri tidak ada, bukan? Mungkin range-nya dari 1 sampai 10, even if we are on the lowest, it still means we have this love feeling to something.

Tidak ada yang negatif di dunia, bahkan hal yang menyebabkan Global Warming pun masih ada manfaatnya. Someone said that even we have a really high concentrate of CO2, it also has an advantage for us, like the trees can do more photosynthesis. 

Yang aku berusaha sampaikan adalah, di setiap manusia, selalu memiliki hal seperti foto di atas, A single white on a huge black. Dan kita diberi tiga pilihan, atau kita memiliki tiga pilihan untuk bereaksi terhadap hal tersebut.

1. Kita memilih untuk membiarkan komposisinya seperti itu, satu titik di atas halaman hitam luas, tanpa ada keinginan untuk membalikkan rasionya. Kita memilih untuk tidak melakukan dan mengetahui apapun mengenai kemungkinan yang bisa kita lakukan dengan dua hal ini.

Or,

2. Kita memilih untuk membalikkan rasionya. Kita belajar untuk menyukai sesuatu, dan menerima kehadirannya sebagai sesuatu yang membawa keuntungan bagi diri kita.

I am not in the position who could say which one is the right choice, I myself can even choose the wrong one, based on your definition of which one is wrong and which one is right.

Aku sering merenungkan tentang bagaimana kita selalu melihat sesuatu dari posisi yang salah, subyektif. Kita melihat dari satu sisi saja, sehingga sering sekali keluar dari mulut kita perkataan seperti ini:
1. Dia tidak akan pernah bisa membantumu mengerjakan pr ini.
2. Komputer itu tidak bisa dipakai untuk menggambar.
dan beragam jenis negative-statement yang kita gunakan untuk mendeskripsikan sesuatu.

Atau terkadang kita mengatakan hal dalam konteks negatif, seperti:
1. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa bantuan kalkulator.

Mungkin aku cukup kurang jelas dalam menggambarkan maksudnya, tapi setidaknya intinya: kita sering merespon dalam konteks negatif, sehingga secara tidak sengaja, kita terbiasa melihat dan mengatakan hal yang bagus dalam bentuk negatif.

Mengapa tidak mencoba untuk selalu mengatakan sesuatu dalam konteks positif? Seperti:
1. Dia bisa mengerjakan tugasnya di komputer ibunya (instead of Dia nggak bisa mengerjakan tugasnya di komputer miliknya)
2. Aku bisa mengerjakan soal ini, dan dengan bantuan kalkulator, aku bisa mengerjakannya lebih cepat.

Maybe some of you think it's useless, but for me, the power of positive words are beyond my imagination. I read something about the power of words, and how words can affect our mind to do what words say. Dari itu, aku belajar untuk berkata positif, setidaknya untuk mempengaruhi pikiranku sendiri untuk yakin pada kemampuanku.

Karena itu, di tengah keterpurukkan, selalu ada harapan (instead of tidak mungkin tidak ada harapan). Di tengah ke-kurangbagusan, selalu ada yang paling bagus.
We, as the young generation, do not have time to stop working because of (we think that) there is no hope. There is always a hope, even in impossibilities.

Tunjukkan sisi positif dari dirimu, sesuatu, dan semuanya. World will be better if people try to show what they have to make this world better, than being pessimistic and scandalize about only the negative side of everything and bury their own optimistic because of their pessimistic. Let's try to be confident of what we have.

PS: maaf untuk blog yang panjang dan mungkin agak kacau, tapi aku harap kalian tahu maksudku dan bisa melakukannya. It's holiday, how about if we do something new?

Have an awesome holiday for you who have it, and have a great Sunday!

Regards,
Dina Puspita Sari
  

No comments:

Post a Comment