Friday, January 25, 2013

3 Tahun


Jumat malam waktu Amerika. Nyaris enam bulan sejak pertama kali saya menjejaki negeri Paman Sam nan adidaya, multicultural.
Sudah Sabtu pagi di Indonesia. 26 Januari 2013.
26 Januari 2013. Dan saya benar-benar lupa.
Sahabat saya berbaik hati mengingatkan.
"Sudah tiga tahun, Din," katanya. Tulisnya.
Lalu saya menyela. Bukan Januari, tapi Februari. Saya berusaha membela diri dari fakta bahwa saya perlahan lupa.
Bahkan agaknya satu-dua detik untuk memproses namanya.
Dan saya memutuskan untuk menulis.
Kalau tiga tahun yang lalu, berarti 26 Januari 2010. Semester akhir saya di SMP. Saat-saat menegangkan untuk memutuskan mau lanjut ke mana.
Tahun lalu, 2008, tanggal 4 Oktober, saya bertemu dia untuk pertama kalinya setelah mengobrol via pesan singkat.
Lalu kalau tidak salah, tahun 2008, akhir kelas 7, pertama kali mengenal yang namanya Afiq. Saat itu saya ikut olimpiade bidang Biologi tingkat provinsi. Kompetisinya cukup sulit, tapi saya bahagia bisa bertemu banyak orang baru. Lalu satu detik, satu saat krusial ketika saya menoleh, saat kami semua berbaris di tengah ruang yang begitu sempit, saya mendapati mukanya. Kaus hitam, semuanya teringat jelas.
Itu hari terakhir kami di olimpiade, hari itu juga kami pulang. Dan tidak lebih dari tiga jam sebelum pulang, saya bertemu dia. Melihat dia, lebih tepatnya.
Kesannya dingin, tidak ramah tapi terkadang lucu. Kami nyaris tidak pernah mengobrol. Bahkan saya dekat dengan temannya daripada dia. Kalaupun mengobrol, sangat singkat. Itupun via elektronik. Tapi saya bahagia. Kalau ini yang dibilang cinta monyet—puppy love—anak SMP, mungkin saya terkena virusnya.
Karena pada dasarnya saya penasaran, saya mencari tahu.
Gali lagi, gali terus. Lalu saya tahu. Mendadak seperti ensiklopedia berjalan yang hanya tahu tentangnya.
Saya tahu tanggal lahirnya, nama panjangnya, sifatnya, pandangannya, sekolahnya. Nyaris semuanya, tapi itu semu. Saya tahu karena media, bukan karena nyata. Saya nyaris tidak tahu aslinya bagaimana.
Lalu semuanya mulai naik tingkat. Pernahkah terlintas setidaknya sekali, dalam harinya, nama saya di pikirannya? Atau sekilas wajah saya? Atau kata-kata saya?
Saya mungkin suka padanya. Kalau itu definisi tertarik pada lawan jenis.
Lalu kami bertemu lagi, duduk berhadapan dari sisi ke sisi ruangan, berlomba dengan tim masing-masing. Saya tidak tahan untuk tersenyum. Atau tertawa. Atau berusaha menjawab. Saya ingat dia, saya tahu dia, mungkinkah dia ingat saya juga?
Timnya meraih juara. Saya tidak kuat diri untuk menyelamati langsung. Kami kalah di semi final. Saya pun mengirim pesan selamat. Dan dia membalas. Mungkin pesannya akan saya simpan kalau saja saya tidak mengganti telepon genggam.
Lalu semuanya mendadak mengalir lagi. Kami nyaris tidak pernah bertegur sapa. Nyaris tidak pernah berkirim salam. Saya nyaris lupa. Tapi saya tahu ada dia.
Dia lulus SMP, saya masih harus menjejaki kelas 9. Dia pergi ke salah satu sekolah Islam terbaik di tanah air kami. Saya pernah bermimpi untuk masuk sana, dan ternyata dia mendapatkan mimpi kecil saya. Seperti mimpi sendiri.
Lalu segalanya terasa begitu sempurna, dia terlalu sempurna. Mungkin tidak sesosialis yang saya kira, tapi kalau ada sosok manusia yang saya inginkan, sifatnya yang saya bayangkan. Hidupnya yang saya kagumi. Bukan, saya mungkin tidak menyukainya. Kagum. Satu dari seribu, saya pikir saya tidak akan bertemu dengan manusia seperti dia.
Lalu 26 Januari 2010. Saya mungkin masih ingat di mana saya duduk saat itu. Kelas apa yang sedang saya lakukan saat itu—Kelas Komputer, sekitar jam 9 pagi. Satu pengumuman dari salah seorang sahabat saya yang dulunya satu kelas dengannya. Tidak panjang, singkat, simpel.
"Telah berpulang ke Rahmatullah, Afiq."
Saya sadar kalau saya menangis di saat saya seharusnya tidak menangis, karena pendekatan emosi saya berbeda dengan orang lain. Dan saya menangis saat itu, saat kelas tengah berlangsung. Bukan karena saya suka padanya. Mungkin karena saya mendadak sadar, saya nyaris lupa akannya. Saya nyaris lupa.
Sahabat saya tahu. Semua berduka cita seakan perasaan saya runtuh. Meski pada nyatanya saya nyaris tidak mungkin bertabrak jalur dengannya, tapi tidak ada yang tidak mungkin, bukan? Mungkin di salah satu sisi otak saya sempat terpikir angan bahwa suatu hari nanti saya akan bertemu lagi dengannya, mungkin punya masa depan yang sama, atau sekedar menjadi sahabat penuntun. Setidaknya berpapasan di jalan kami menuju masa depan.
Dan dia menyudahi perjalanannya sekilat itu. Bukan, Tuhan yang menyudahinya. Tuhan yang menginginkannya. Kata mereka, dia menghembuskan napas terakhirnya saat sedang membaca Al-Quran. Kata mereka, dia selalu punya masalah dengan jantungnya. Kata mereka, siapa yang menyangka.
Tidak ada kata mereka itu karma. Mulia? Mungkin kata kalian itu biasa, tapi bagi saya dia mulia. Lalu saya ingat lagi. Ingat agar tidak hilang. Saya butuh ingatan itu.
Lalu tahun ini, 2013.
Saya terbenam dengan kebahagiaan saya sendiri, saya terkadang lupa dengan apa yang melewati saya.
Apa mungkin Tuhan tidak ingin saya mengingat sama sekali? Tidak ada peran kecil di dunia, bukan? Hanya karena saya adalah seseorang yang mengagumi dia dari kejauhan bukan berarti peran saya kecil? Bukan berarti saya tidak berhak mengingatnya?
Saya tahu saya lupa. Saya lupa sama sekali. Dan itu menyedihkan. Sesosok manusia yang begitu saya kagumi, mungkin pernah saya idamkan, saya lupa. Apa saya terbenam di kebahagiaan dunia lalu lupa terhadapnya? Atau ini pengingat lagi akan sosoknya yang saya kagumi? Pengingat untuk kembali lagi ke rutinitas kebaikan saya—or whatsoever you name it.
Manusia punya tendensi untuk menghubung-hubungkan kejadian universal dengan diri kita sendiri. Karena pada dasarnya kita egois, self-centered. Dan wajar, saya menghubungkan semua kejadian ini dengan diri saya sendiri, dengan filosofi selogis mungkin. Mungkin ini benar-benar tamparan keras bagi saya yang mulai lupa.
Saya yang mulai lupa betapa spesialnya tanggal 16 September dan 26 Januari itu.
Atau ini hanya penjelasan panjang lebar tentang keegoisan saya untuk membela diri karena lupa?
Entahlah.
Salam dari dunia, Afiq. Semoga engkau nyaman di sisi-Nya.

No comments:

Post a Comment