Wednesday, January 23, 2013

Jurnalis


Begini ceritanya.
Orang bilang menulis itu ajaib. Bukan orang sih, aku yang bilang begitu.

Aku. Aku.

Menulis itu ajaib, kadang menghilang tapi masih di sini. Menulis itu magis.

Lalu menulis dunia? Epic.
Bayangkan saja bola dunia terbuat dari kata-kata. Hitam-putih, tapi kalau diresapi, maknanya bias.

Lalu wajah orang-orang di dalamnya. Tidak perlu ragu untuk menerka, langsung baca saja. 

Peduli.

Pendiam.

Amarah.

Semangat.

Ironi.

Duka.

Bahagia.

Asmara.

Malu.

Semuanya terbaca.

Lalu, bagaimana dengan alam? Bagaimana mendeskripsikan alam? Bebas.

Idealis, rasionalis, semuanya jadi satu. Tidak perlu memilih, tidak perlu berpihak.

Campur aduk jadi satu adonan khusus berjudul istimewa.
Terkadang terkesan megah, bahkan yang membaca pun tidak mengerti.
Semakin tidak mengerti judulnya, semakin menarik dibacanya.
Judul tidak berarti, tidak ada yang membaca.

Layaknya pasar, menulis itu menjual. Toko.
Menarik pembaca untuk terjun menyelami otak penulis, atau mendorong pembaca untuk membuka halaman baru setelah satu paragraf.

Berdegup kalau ada yang melewati. Otakku tidak dibaca. Otakku tidak menarik.

Lalu gairah yang sama muncul lagi, menulis lagi, bertekad untuk membuat mereka yang melewati halamanmu merasa menyesal karena... tulisanmu.

Simpelnya, aku mungkin ingin jadi jurnalis juga.
Menulis untuk majalah politik atau National Geography.
Jadi bagian revolusi dunia yang berkembang setiap saatnya.

Mungkin jadi jurnalis tidak buruk, ja?

2 comments:

  1. kereen! aku ikut tercampur aduk baca tulisan kamu yang ini

    ini bagian2 paling menari buat aku

    "Menulis untuk majalah politik atau National Geography.
    Jadi bagian revolusi dunia yang berkembang setiap saatnya."

    "Lalu wajah orang-orang di dalamnya. Tidak perlu ragu untuk menerka, langsung baca saja."

    ReplyDelete